Berubah Jadi Kelas Rawat Inap Standar, Ini Iuran Terbaru BPJS Kesehatan

  • Bagikan

Nampak pelayanan di BPJS Kesehatan. ---net--

PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID, JAKARTA-- Tinggal menghitung hari aturan tentang iuran terbaru BPJS Kesehatan. Pemerintah berencana mengganti iuran berbasis kelas dan akan menerapkan sistem kelas standar BPJS Kesehatan.

Mengutip berbagai sumber, sistem tingkatan berdasarkan kelas di BPJS Kesehatan akan dihapus mulai bulan Juli 2022.

Layanan kelas tersebut akan digabungkan jadi Kelas Rawat Inap Standar atau disingkat KRIS.

Hal ini otomatis akan mengubah sistem pembayaran iuran BPJS, dari yang sebelumnya membayar iuran berdasarkan kelas, kini akan disesuaikan dengan besaran gaji masing-masing peserta BPJS Kesehatan.

Seperti yang diketahui, tarif BPJS Kesehatan juga mengalami peningkatan sejak tahun lalu karena pemerintah mengurangi subsidi. Berikut perubahan tarif BPJS Kesehatan:

Kelas I, iuran per bulan awalnya Rp 80 ribu naik jadi Rp 150 ribu.

Kelas II, iuran per bulan awalnya Rp 51 ribu naik jadi Rp 100 ribu.

Kelas III, iuran per bulan awalnya Rp 25.500 naik jadi Rp 42 ribu.

Penerapan kelas standar ini sudah disusun sejak awal tahun dan akan diwujudkan jadi 9 kriteria di 50 persen rumah sakit (RS) vertikal mulai bulan Juli 2022. Semua proses peralihan ini akan berjalan bertahap.

Pada Desember 2022, implementasi 9 kriteria akan diterapkan di seluruh RS vertikal. Setelah itu, penerapan 9 kriteria akan diperluas ke 50 persen RSUD Provinsi yang ditargetkan pada Januari 2023. 

Selanjutnya setahun setelah penerapan awal, yaitu Juli 2023, kelas standar akan kembali diperluas ke semua RSUD Provinsi dan 50 persen RS swasta dan pada Desember 2023, akan diimplementasikan 12 kriteria di seluruh RS vertikal dan 9 kriteria di seluruh RSUD Provinsi. 

Pada akhirnya, di bulan Desember 2024, KRIS akan diimplementasikan 12 kriteria di seluruh RS dalam negeri.  Perlu diingat bahwa tak semua penyakit ditanggung oleh BPJS Kesehatan.

Dalam Perpres 12 tahun 2013 Peraturan BPJS Kesehatan no. 1 Tahun 2014 disebutkan beberapa pelayanan kesehatan yang tidak dijamin tanpa memberikan contoh penyakit yang tidak ditanggung BPJS Kesehatan, antara lain:

Pelayanan kesehatan untuk tujuan estetik.

Pelayanan untuk mengatasi infertilitas.

Pelayanan meratakan gigi (ortodonsi).

Gangguan kesehatan/penyakit akibat ketergantungan obat dan/ atau alkohol.

Gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri, atau akibat melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri.

Pengobatan komplementer, alternatif dan tradisional, termasuk akupuntur, shin she, chiropractic, yang belum dinyatakan efektif berdasarkan penilaian teknologi kesehatan (health technology assessment).

Pengobatan dan tindakan medis yang dikategorikan sebagai percobaan (eksperimen).

Alat kontrasepsi, kosmetik, makanan bayi, dan susu.

Pelayanan kesehatan akibat bencana pada masa tanggap darurat, kejadian luar biasa/wabah.

Sebelumnya, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti dalam dialog Sapa Indonesia Akhir Pekan Kompas TV, Sabtu, 11 Juni 2022, dijelaskan bahwa iuran bulanan BPJS Kesehatan sebesar lima persen dari gaji peserta.

“Hitungannya, satu persen dari gaji atau upah, empat persen dibayarkan oleh pemberi kerja. Jadi total lima persen,” bebernya.

Ali menambahkan, seharusnya semakin tinggi gaji atau upah, itu semakin besar. Tetapi di Indonesia ini diberi maksimum Rp12 juta.

''Sehingga mereka yang bergaji 100 juta dengan yang gaji 10 juta itu hampir sama,” urainya.

Ia menambahkan, jika tidak ingin ada kegaduhan, sebaiknya memang diubah menjadi maksimal Rp12 juta, kemudian disesuaikan yang lebih bagus.

Sehingga nantinya, katanya, ada cross subsidy (subsidi silang, red), ada gotong royong, konsep asuransi kesehatan sosial.

“Harusnya yang gajinya tinggi iurannya lebih banyak, tetapi tidak sekarang ya. Sekarang ini hampir sama,” tegasnya.

Saat ditanya mengenai wacana standardisasi kelas layanan nantinya akan merujuk pada pelayanan kesehatan kelas berapa? Ali hanya mengatakan bahwa itu pertanyaan yang sulit dijawab.

“Kalau itu, menunjukkan perlunya komprehensivitas dan pemahaman serta perumusan yang bagus. Jadi kalau menjawab pertanyaan itu saja sudah sulit,” jawabnya.

Dibeberkan Ali, roadmap kebijakan tentang standardisasi kelas, kata Ali, disusun oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).

Tetapi, yang jelas, lanjut dia, pada tahun 2022, akan mulai diuji coba. Selanjutnya, akan dimulai secara bertahap pada 2023.

“Roadmap-nya seperti itu. Nanti di 2024 itu kemudian diimplementasi lebih banyak,” ungkapnya.

Bagi BPJS, katanya fokus pada mutu, peningkatan seperti apa yang dibutuhkan masyarakat.

''Kalau masyarakat ditanya, dan kami melakukan penelitian, apakah mereka yang kelas III ingin naik kelas dengan bayar lebih, ternyata tidak,” ucapnya.

Menurut Ali, kebanyakan mereka ingin tetap di kelas III.

Begitu pula dengan peserta yang terdaftar di kelas II, tidak mau turun ke kelas III meskipun dengan iuran yang lebih murah.

Hal yang sama, kata dia, terjadi pada peserta kelas I.

“Apakah ingin turun tapi iurannya dikurangi? Nggak, ‘Saya iurannya tetap tapi tetap di kelas I,’” lanjutnya.

Saat ditanya mengenai apakah nantinya layanan yang diterima oleh peserta masing-masing kelas akan sama? Ia mengatakan, menyamakan layanan merupakan hal yang bagus.

“Tapi urgensinya perlu kita tata kembali. Yang justru urgen adalah tata kelola di kelas I, II, III, itu harusnya bagaimana standar klinis medis mengelola pasien,” ujar Ali.

Ali menegaskan, hal itu yang jauh lebih urgen dan lebih penting dalam kaitannya dengan equity.

“Jadi kalau kelas fisik, boleh-boleh tapi tidak terlalu esensial. Yang esensial itu bagaimana pasien dapat obat, dapat daftar, dapat kepastian, begitu,'' katanya. (net/pp)

  • Bagikan