Fatamorgana Ekspor Pasir Laut

  • Bagikan

* Oleh: A Tenri Sarwan, S.E
(Aktivis Komunitas *Temantaatta* Kota Palopo)


Indonesia sejak dulu dikenal dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Tak dipungkiri menjadi daya tarik banyak pihak untuk mengelolanya. Baik individu, asing maupun swasta tentu tak akan ketinggalan jika diberi lampu hijau. Tak diberi lampu hijau saja sumber daya alam negeri ini 'dicuri' sedemikian rupa. Tapi, di sisi lain kita tidak bisa menutup mata dan telinga, bahkan bukan hal tabu bahwa beberapa sumber daya alam yang sudah mendapatkan izin nyatanya tak luput dari masalah.

Sebelumnya Pemerintah mengumumkan keputusan untuk membuka kembali ekspor pasir laut setelah 20 tahun tak diberlakukan. Pada 30 Mei 2023 pemerintah menjelaskan kembali, dibukanya keran ekspor pasir laut, diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi perekonomian negara. Termasuk peningkatan devisa negara, peningkatan lapangan kerja dan pengembangan sektor industrinya. (News.republika.co.id 07/06/2023)

Terbitnya regulasi pengelolaan hasil sedimentasi di laut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 diharapkan mampu menjamin perlindungan terhadap ekosistem pesisir dan laut . Belakangan muncul kekhawatiran terbitnya PP ini akan membuat kegiatan penambangan pasir laut semakin masif (ekbis.sindonews.com 05/06/2023).

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif pun buka suara. Arifin membeberkan alasan pemerintah membuka keran ekspor pasir laut, yaitu untuk menjaga alur pelayaran dan nilai ekonomi akibat sedimentasi tersebut.(CNBCIndonesia.com 02/06/2023)

Namun, benarkah kebijakan ini akan memberikan keuntungan? Siapa yang diuntungkan? Atau semuanya tidak lebih dari fatamorgana?

Fatamorgana?

Menelisik lebih jauh, sejatinya alasan yang dikemukakan bukanlah segelintir alasan baru. Tambang gas, nikel, emas, batu bara, dll telah lama dikelola asing. Bukankah beberapa alasan tersebut juga menjadi patokan pemerintah memberikan izin asing dan swasta menggeruk kekayaan alam negeri ini? Tapi faktanya, berapa banyak tambahan pendapatan negara dari SDA yang dikelola asing tersebut?

Lalu, bagaimana pula dengan utang luar negeri yang kian membengkak?
Berapa banyak jumlah rakyat yang berhasil mendapatkan pekerjaan? Atau justru sebaliknya rakyat justru malah kehilangan pekerjaan karena mata pencahariannya telah dirusak?

Jika ditinjau dampak terhadap lingkungan. Apakah hal yang sama tidak akan terulang kembali? Jaminan apa yang akan memastikan ekosistem pesisir dan laut tetap terlindungi saat faktanya aktivitas penambangan ini justru lebih banyak merusak ekosistem?

Sebelum kebijakan ini kembali dilegalkan, nyatanya beberapa pulau di Indonesia sudah dikeruk secara ilegal. Menandakan larangan penambangan pasir ternyata tidak mampu menghentikan aktivitas para penambang. Ini juga menunjukkan lemahnya peran negara, yang nyatanya tak mampu melindungi kekayaan alam negeri ini.

Lantas dengan dilegalkannya penambangan pasir, secara sadar, seolah pemerintah sendiri melegalkan kerusakan ekosistem alam demi keuntungan yang tak seberapa? Atau lebih pantas dikatakan keuntungannya tak lebih dari fatamorgana? Karena sejatinya keuntungan yang diperoleh negara hanya dari pajak para pengusaha tambang tersebut.

Sudah hal lumrah, yang terlibat dalam aktivitas ini tidak lain adalah para pemilik modal, pengusaha/oligarki. Bukankah mereka yang paling diuntungkan? Spekulasi tentang kebijakan ini ditunggangi oleh mereka, perusahaan tambang pasir yang selama ini ilegal. Mengingat besarnya permintaan terhadap pasir laut dan negeri ini pernah menjadi eksportir terbaik pada masanya.

Asas sebuah negeri akan menentukan arah kebijakan seperti apa yang akan diambilnya. Saat asas sebuah negeri adalah memisahkan agama dari kehidupan maka akan menjadikan SDA sebagai ladang untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyat dan kelestarian lingkungan. Sudah menjadi tabiat kepemimpinan sistem kapitalis sekuler adalah materi. Selama mereka memiliki modal, dengan senang hati negara dengan asas ini memberikan izin untuk mengelola SDA.

Negara hanya menjadi regulator -dalam sistem kapitalis sekuler- bahkan bagian dari perusahaan, yang menjadikan sektor SDA sebagai investasi. Lagi-lagi untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya, demi keuntungan individual semata. Maka jika dalam pengelolaan SDA, terus memunculkan masalah, itu sudah wajar karena sejak awal asas mengelolanya telah salah.

Negara dalam demokrasi tunduk pada kepentingan modal dengan dalih keuntungan untuk negara. Bukankah keuntungan yang diharapkan dari kebijakan ini adalah fatamorgana? Di saat lahir, boleh jadi adalah pesanan para pemilik modal.

Bagaimana Seharusnya?

Inilah bukti nyata gagalnya sistem sekuler kapitalis dalam mengatur urusan ummat. Sebagai agama yang sempurna, Islam telah mengatur pemanfaatan SDA. Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Rasul juga bersabda, “Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, rumput dan api “ (HR Ibnu Majah).

Manusia adalah makhluk yang lemah dan terbatas, tak layak bagi manusia membuat aturan. Hak membuat aturan hanyalah milik Sang Maha Pengatur yaitu Allah swt. Maka pengelolaan SDA tentu dikembalikan pada Al-Qur'an dan As-sunah. Dari hadist Rasulullah saw. telah jelas, seharusnya negaralah yang harus bertanggungjawab mengelola SDA. Bukan hanya pasir, tapi seluruh SDA. Lalu hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Haram menyerahkan pengelolaan kepada individu, swasta apalagi asing.

Islam adalah rahmatan lil'alamin, rahmat bagi seluruh alam. Hadirnya Islam bukan hanya kebaikan bagi manusia, alampun akan ikut merasakan rahmatnya. Sehingga pemimpin dalam sistem Islam tak akan sekedar membuat atau mencabut kebijakan yang justru akan merugikan negeri dan rakyatnya. Karena sejak awal tolok ukurnya adalah ridho Allah swt. maka kebijakan yang dibuatnya tidak hanya tunduk pada aspek ekonomi semata. Ketundukan dan ketaatan kepada Allah akan membuat seorang pemimpin berpikir jauh ke depan, bahwa amanah kepemimpinan ini akan dipertanggung jawabkan kelak di hadapan Allah swt. Sehingga kebijakan yang dibuatnya tidak akan merugikan orang-orang yang berada di bawah tanggungjawabnya.

Nabi saw. Bersabda:

إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ

Sungguh Imam (pemimpin) itu (laksana) perisai. Di belakang dia orang-orang berperang dan kepada dirinya mereka berlindung (HR al-Bukhari dan Muslim). Seperti itulah pemimpin hasil didikan peradaban Islam.

Alhasil, sungguh mengembalikan kehidupan Islam adalah hal yang paling dibutuhkan ummat hari ini. Karena tanpa aturan Islam yang sempurna dan paripurna, begitu banyak hak-hak rakyat yang dirampas. Slogan kedaulatan di tangan rakyat nyatanya tak lebih dari isapan jempol belaka. Sebaliknya sistem ini, hanya menjadikan -demi kepentingan rakyat- sebagai jargon kosong. Realitasnya lagi dan lagi rakyatlah yang menderita.

Lantas apakah masih menunda perjuangan mengembalikan kehidupan Islam, di saat justru sistem Islamlah solusi dari setiap persoalan yang dihadapi ummat hari ini?

Wallahu'alam bishshawab. (*)

  • Bagikan