KOTIF MENJADI KOTA OTONOM, BUKANLAH OTOMATIS

  • Bagikan

(Catatan Reflektif Hari Jadi Kota Palopo ke-21 Tahun)

* Oleh : Abdul Hakim Jafar
(Pelaku Sejarah Perjuangan Pembentukan Kota Palopo)



Tulisan ini sengaja memilih judul seperti di atas untuk memberi perspektif kepada kita semua, utamanya generasi muda saat ini. Agar dapat menghargai sebuah peristiwa bersejarah, sebagai bentuk perjuangan yang menghadirkan kemaslahatan bagi daerah dan generasi berikutnya.

Dalam hal ini, sejarah terbentuknya kota Palopo yang diperingati pada setiap tanggal 2 Juli, memiliki dinamika heroiknya sendiri yg membuktikan jika predikat Palopo menjadi kota otonom bukanlah sesuatu yg terjadi dengan sendirinya (otomatis). Melainkan diraih melalui serangkaian gerakan yang berhadapan dengan sejumlah tantangan.

Saat itu, 25 tahun lalu, 1999 di awal era reformasi berhembus berita gembira bagi semua Kota Administratif (KOTIF) untuk mempersiapkan diri menjadi kota otonom, selaku unit pemerintahan di daerah. Tentu kebijakan ini menjadi momentum strategis untuk semua Kotif dalam pengembangan wilayahnya. Posisi Palopo ketika itu yg sudah menyandang status kotif sejak tahun 1986 berdasarkan PP No.42 Tahun mendapat angin segar untuk meningkatkatkan predikatnya menjadi kota otonom.

Dengan terbitnya UU No.22 Tahun 1999 dan PP No.129 Tahun 2000 tentang pemekaran wilayah yang merupakan salah satu agenda reformasi nasional, maka Kotif Palopo yang merupakan ibu kota Kab. Luwu mendapat peluang bersama semua Kotif di seluruh Indonesia untuk meningkatkan statusnya menjadi kota otonom. Tapi, segera harus digarisbawahi bahwa penigkatan status Kotif menjadi kota otonom itu bukanlah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya, secara otomatis. Sebab, peraturan perundang-undangan juga itu sendiri yang mensyaratkan ketentuan prosedur, mekanisme, kriteria yang wajib dipenuhi. Antara lain dari ketentuan itu, dokumen potensi wilayah, usulan dan rekomendasi tertulis oleh Bupati, DPRD Kabupaten, Gubernur dan DPRD Provinsi dari wilayah kotif itu berada.

Dengan demikian, tidak semua kotif yang ada saat itu layak ditingkatkan predikatnya menjadi kota otonom. Bahkan ada diantaranya yang justru diturunkan statusnya menjadi kecamatan. Misalnya, Kotif Watampone di Kabupaten Bone yang kembali menjadi kecamatan. Hal itu dikarenakan, selain tak mampu memenuhi persyaratan UU, juga terutama memang tidak ada kelompok dari masyarakatnya yang menggagas gerakan kenaikan status kota otonom.

Dalam konteks Kotif Palopo, Kabupaten Luwu, peluang yang terbuka untuk meraih predikat kota otonom direspon oleh utamanya masyarakat Palopo yang dipelopori komunitas atau kelompok-kelompok kritis dengan melakukan serangkaian gerakan peningkatan status yang berlangsung selama kurun waktu 1999 hingga 2002 dalam tiga fase gerakan.

Fase pertama, adalah gerakan wacana yang secara masif mewacanakan isu terkait potensi Kotif Palopo menjadi kota otonom yang digagas oleh para aktivis Ikatan Pelajar Mahasiswa Indonesia Luwu (IPMIL). Dalam fase ini, tahun 1999, IPMIL menggelar forum diskusi panel bertajuk Potensi Kotif Palopo Menjadi Kota Otonom. Dari diskusi panel ini melahirkan dua kesimpulan aspirasi. Yakni, pertama dari kelompok kritis menilai Kotif Palopo memiliki potensi yang sungguh layak ditingkatkan statusnya menjadi kota otonom. Aspirasi yang kedua dari pihak yang cenderung statusquo, berpendapat wacana kota otonom Palopo masih terlalu bersifat prematur.

Fase kedua, gerakan prosedural dimana bentuk gerakannya mengedepankan pendekatan prosedur dan mekanisme peningkatan status kota otonom berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Gerakan yang diprakarsai oleh Forum LSM se Tana Luwu (FORTAL) ini juga menggelar seminar pada tahun 2000 dengan tema Prospek Kotif Palopo menuju Kota Otonom berdasarkan UU No.22 Tahun 1999. Hasil seminar ini merekomendasikan kepada semua pihak terkait (legislatif dan eksekutif) untuk menerbitkan dokumen tertulis dan bentuk dukungan data lainnya terkait peningkatan status Kota Palopo berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kemudian fase ketiga, adalah gerakan pressure yang dimotori oleh Forum Kota (FORKOT). Pada fase ini gerakannya sangat kental diwarnai dengan sejumlah aksi demonstrasi sebagai bentuk pressure terhadap pihak berkompeten yang dinilai lamban merespon aspirasi kota otonom, bahkan terindikasi menghambat prosedur peningkatan Kotif menjadi kota otonom. Sepanjang tahun 2001 hingga 2002, Forkot menggelar serangkaian aksi unjuk rasa di Kantor DPRD Luwu, Rujab Saokutae, Rujab Wakil Bupati Luwu, menyambangi kantor gubernur di Makassar hingga ke Jakarta membawa aspirasi di gedung Depdagri RI.

Meskipun fase-fase gerakan tersebut dipelopori oleh eksponen yang berbeda, akan tetapi ketiga fase ini menjadi sebuah kontinuitas pergerakan saling menguatkan yang pada akhirnya melampangkan jalan terbentuknya Kota Otonom Palopo. Adalah sosok HPA Tenriadjeng yg menjabat Sekda Kabupaten Luwu saat itu memposisikan dirinya sebagai 'solidarity maker' untuk eksisnya fase-fase gerakan tersebut demi kepentingan masa depan daerah. Bahkan secara senyap, untuk menghindari benturan terbuka dengan Bupati, ia terus mensupport ketiga fase gerakan itu. Mr. Tenri, begitu beliau biasa disapa, tetap konsisten dengan sikapnya meski dengan resiko mempertaruhkan jabatan birokrasinya karena berseberangan dengan atasan yang terkesan belum siap menerima kenaikan status kota otonom Palopo saat itu.

Berkat kontinuitas pergerakan bersemangat militan tersebut yang kemudian mendapat dukungan luas dari hampir semua elemen masyarakat, yang dilandasi dengan spirit otonomi daerah demi kepentingan masa depan Kota Palopo, maka harapan untuk meraih predikat kota otonom kian mendekati kenyataan. Harapan itu ditandai dengan terbitnya sejumlah dokumen tertulis serta dukungan administratif lainnya dari berbagai institusi terkait yang sebelumnya terkesan enggan mendukung gerakan ini. Lalu, pemerintah pusat melalui Kemendagri setelah memverifikasi kelengkapan administrasi serta menurunkan Tim DPOD di lapangan (wilayah Kotif Palopo) melakukan pengkajian potensi dan kondisi wilayah, maka Kotif Palopo dinyatakan layak menjadi kota otonom. Klimaks dari seluruh gerakan ini adalah ketika Kemendagri menggelar forum ekspose kelayakan Palopo menjadi kota Otonom, di Jakarta pada tahun 2002. Mengacu pada hasil ekspose tersebut, maka terbitlah UU No.11 Tahun 2002 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kota Palopo dan Kabupaten Mamasa Provinsi Sulawsi Selatan. Undang-Undang inilah yg akhirnya melegitimasi Kotif Palopo menjadi sebuah daerah otonom dengan bentuk dan model pemerintahan serta letak wilayah geografi tersendiri, berpisah dari induknya yaitu Kabupaten Luwu.

Kota Palopo dinakhodai pertama kali oleh HPA Tenriadjeng yang diberi amanah dari pemerintah pusat sebagai caretaker, penjabat Walikota. Caretaker bertugas menata dan membentuk infrastruktur pemerintahan baru serta mengkondusifkan wilayah selama kurun waktu satu tahun. Hingga kemudian terpilih secara demokratis sebagai walikota definitif dua periode, yakni tahun 2003 sampai tahun 2013. Secara historis, HPA Tenriadjeng tercatat sebagai walikota pertama yang sekaligus dikenang selaku peletak kerangka dasar pembangunan Kota Palopo.

Momen pelantikan caretaket walikota dan penandatanganan prasasti pengakuan atas daerah otonom kota Palopo pada tanggal 2 Juli 2002 oleh Mendagri, telah dijadikan patokan peringatan hari jadi kota Palopo selama 21 tahun belakangan ini, pada setiap 2 Juli.

Tetapi dengan terbitnya Peraturan Daerah (PERDA) Kota Palopo Tahun 2023 tetang Hari Jadi Kota Palopo, maka tanggal hari jadi berubah menjadi 10 April. Alasannya, 10 April 2002 adalah tanggal terbitnya UU No.11 Tahun 2002 sebagai momentum terbentuknya Kota Palopo sebagai daerah otonom, adalah lebih tepat menjadi dasar penentuan hari jadi. Perda tersebut mengamanahkan untuk memberlakukan peringatan hari jadi kota Palopo pada setiap tangga 10 April dimulai pada tahun 2024.

Mari kita sambut hadirnya Perda hari jadi kota Palopon yang lahir di era kepemimpinan walikota H.M. Judas Amir, dengan suka cita. Penentuan tanggal hari jadi bukanlah hal yang substansif bagi hari jadi suatu daerah. Tapi, hadirnya Perda ini setidaknya menjadi payung hukum yang diharapkan akan menjamin kualitas dan meriahnya agenda peringatan hari jadi Kota Palopo pada setiap tahunnya. Tidak lagi hanya diperingati oleh segelintir elite pemerintah, seperti yang terjadi selama ini. Harapan kita, dengan adanya Perda ini, hari jadi Kota Palopo menjadi ajang populis, melibatkan segenap elemen masyararkat untuk selalu bangga dan optimis akan kemajuan masa depan daerahnya, Kota Palopo yang tercinta. (*)

  • Bagikan