KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF

  • Bagikan

Oleh: Afrianto, M.Si (Dosen Universitas Mega Buana Palopo)

OTONOMI Daerah dimaksudkan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, memudahkan pelayanan publik sampai ke pelosok serta memakmurkan demokrasi lokal.

Memang, terdapat daerah yang tingkat kemajuannya bagus, namun presentasenya sangat kecil. Sebagian besarnya dari 38 provinsi dan 542 kabupaten/ kota masih kesulitan membiayai sendiri pembangunan daerahnya, kemampuan menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) masih rendah. Begitulah harapan dan kenyataan dari adanya otonomi daerah di Indonesia saat ini.

Pelaksanaan otonomi daerah bertali erat dengan peran birokrasi, berharap dipandu oleh kepemimpinan yang profesional, kompeten dan berintegritas untuk kepentingan kemajuan daerah. Faktanya, otonomi daerah malah menjadi ruang bebas bagi mereka yang memiliki karakter “kepemimpinan plastik”, pemimpin yang tidak pernah menghiraukan isi hidup dan arah hidup, menutupi kekurangannya dengan memanipulasi pencitraan, tampil ke publik karena merasa pantas menjadi pemimpin tapi menyelesaikan masalah dengan impresi (kesan/citra) bukan dengan kekuatan visi.

Spirit kesetaraan dalam ruang demokrasi di buat kelam dan buruk. Berdasarkan data di situs kpk.go.id, sejak tahun 2004 hingga 3 Januari 2022 tak kurang dari 22 Gubernur dan 148 bupati/wali kota telah ditindak oleh KPK. Jumlah itu tentu bisa lebih besar jika digabungkan dengan data dari Kejaksaan dan Kepolisian. ICW mencatat, sepanjang tahun 2010 – Juni 2018 tak kurang dari 253 kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh aparat penegak hukum. Kasus ini dipicu salah satunya karena faktor kewenangan yang besar untuk mengelola APBD, perekrutan pejabat daerah, pemberian ijin, dinasti kekuasaan dan semakin diperparah dengan kolusi eksekutif dan legislatif dalam pembuatan kebijakan yang koruptif.

Monopoli kekuasaan didaerah menyebabkan sebagian kepala daerah melakukan tindakan korupsi melalui gratifikasi dan suap. Selama ini, merit system yang dilakukan atas dasar kinerja, kompetensi belum sepenuhnya terjadi malah terjadi spoil system. Promosi jabatan kerap dilatarbelakangi oleh jual beli jabatan, sesuai selera kepala daerah, bahkan ASN yang dianggap tidak loyal karena berbeda pemilihan dan pemilu dicopot jabatannya.

Dalam situasi demikian, dibutuhkan pemimpin yang tidak saja cakap merumuskan pembangunan kesejahteraan, tetapi pemimipin yang memiliki karakter tangguh, namun juga mengasuh, suatu bentuk kepemimpinan yang melakukan perubahan berdasarkan nilai-nilai kebaikan. Yudi Latif (Opini Kompas, Gila Kuasa, 2021), Yang diperlukan bukan saja pemimpin yang baik (good leader), melainkan juga pemimpin agung (great leader). Keagungan di sini bukan dalam arti kapasitas untuk mendominasi dan memaksa, melainkan terpancar dari kesejatian karakter untuk mengasihi, melindungi, mengurus, dan menertibkan.

Dalam suatu bangsa yang ditandai oleh kecenderungan untuk membenarkan yang biasa, bukan membiasakan yang benar, keguyuban yang berkembang acap kali merupakan keguyuban yang destruktif, seperti tecermin dalam istilah ”budaya korupsi”.

Dalam situasi demikian, yang diperlukan bukanlah pemimpin yang konformis, yang gesture politiknya mengikuti ekspektasi kemapanan yang korosif. Yang dibutuhkan justru pemimpin eksentrik yang bisa berpikir out of the box dan berani menawarkan pilihan yang berbeda dari arus utama.

Keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan melalui pendelegasian sebagian kewenangan urusan pemerintahan yang bersifat konkuren sejatinya untuk mendorong daerah mencapai kemandirian. Fenomena – fenomena pemimpin/kepala daerah di tingkat lokal seperti yang digambarkan di atas jika terus dibiarkan akan terus memproduksi masalah dan kegagalan. Bahkan, sebagian besar kepala daerah yang mendapatkan promosi besar dalam karir politiknya, memperluas areal kepemimpinannya tidak sejalan dengan perkembangan kompetensinya. Begitu banyak hal yang penting dan mendesak untuk diselesaikan di tingkat lokal, rangkaian krisis ekonomi, politik, budaya diidentifikasi dalam frekuensi lebih sering dan lingkup lebih luas, kondisi ini disebabkan oleh krisis kebijakan ekonomi dan politik, menghambat kemajuan ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam dimensi pembangunan berkelanjutan.

Di era masa kini, dalam konteks kepemimpinan publik dibutuhkan kepemimpinan transformative yang bisa menjadi jawaban atas berbagai perubahan –perubahan yang begitu cepat di berbagai bidang, mengantisipasi tantangan masa depan yang penuh dengan kejutan-kejutan perubahan melalui inovasi yang memanfaatkan keterbatasan (frugal inovation). Menuntut perhatian lebih dari pemerintah dengan adanya variabel pergeseran teknologi, dikenal dengan terminologi technological progress. Pemerintah daearah dituntut untuk mampu beradaptasi dengan transformasi teknologi yang berkembang secara kontinu dan eksponensial yang menghambat struktur perekonomian saat ini dan masa mendatang. Kondisi yang penuh tantangan tersebut membutuhkan leader yang tangguh (Raghuramapatruni dan Kosuri, 2017) dan memiliki berbagai kompetensi baru yang belum dibutuhkan di era sebelumnya (Lawrence, 2013)
Peran kepemimpinan ini sangat besar dan strategis, penentu utama organisasi dan masyarakat mendorong inovasi atau tidak sama sekali.Kepemimpinan transformative ini menjadi corong pembentukan ideasi, lalu tumbuh menjadi solusi, berkembang menjadi inovasi dan membawa pembaruan yang bersifat konstruktif. Solikin M. Juhro, dkk (2020) dalam Kepemimpinan Ekonomi untuk Membangun Bangsa yang Unggul, Pemimpin yang melakukan orkestrasi inovasi akan melakukan tiga hal penting, yaitu memastikan individu (people) dalam organisasi mempunyai kemampuan dan kapasitas berinovasi, mendorong terjadinya kolaborasi internal serta eksternal yang bersifat katalitik, serta kemudian memastikan proses berinovasi terjadi secara terus-menerus melalui suatu innovation pipeline yang terstruktur atau terlembagakan.

Kepemimpinan ini akan membedakan antara transformasi lembaga dari titik A ke B saja (lalu berhenti), dengan kepemimpinan yang melembagakan kemampuan transformatif organisasi, secara terus-menerus. Kepemimpinan ini ditandai dengan terobosan yang berdampak tinggi dan sesuai dengan kebutuhan (relevan), dan berkelanjutan

Kepemimpinan transformasi diperlukan untuk menciptakan percepatan dengan mesin inovasi. Saat ini dipandang oleh banyak pihak, menyebut bahwa dunia saat ini mengalami perubahan cepat dan telah memasuki lingkungan baru, disrupsi teknologi yang bersifat eksponensial dan munculnya wabah covid 19 serta krisis memunculkan ketidakpastian yang semakin tinggi.

Masyarakat menghadapi tantangan pembangunan baru yang dikenal dengan terminology VUCA; Volatility (artinya perubahan kecepatan, dimana perubahan system sosial tidak dapat diprediksi dan penemuan – penemuan baru yang mempengaruhi kehidupan sosial kita ), Uncertainty (ketidakpastian, ketidakmampuan kita memprediksi suatu isu dan memerangkap kita dengan ketidakpastsian), Complexity (Keadaan yang kompleks, hampir semua fenomena yang terjadi saling mempengaruhi) dan Ambiguty (kita mengalami kesulitan dalam memahami isu yang dikarenakan ada banyaknya faktor yang masuk dalam satu isu.

Kesulitan dalam memahami permasalahan dan proses mitigasi faktor-faktor penyebab masalah membuat banyak informasi yang beredar, namun belum terbukti kebenarannya.

Megatrend global terkait dengan isu pembangunan ekonomi, sosial, lingkungan, teknologi, sumber daya manusia, dan kepemimpinan menjadi pendorong revolusi industry baru yang dimanifestasikan dalam beberapa aspek; yaitu fisik, digital dan biologis.

Klaus Schwab (2016), mengemukakan bahwa revolusi industri saat ini berbeda secara fundamental yang disebabkan oleh kemajuan sains dan teknologi baru. Dalam aspek fisik (seperti kendaraan otomatis, printer 3D, robot, dan munculnya material-material baru), aspek digital (seperti blockchain dan platform on demand economy), serta aspek biologis (seperti supercomputer yang mampu merekomendasikan pengobatan yang tepat bagi pasien kanker berdasarkan sejarah pasien). Kemajuan teknologi yang sangat cepat ini berdampak pada berbagai aspek kehidupan.

Schwab (2016) menyebutnya bahwa revolusi industri ini menjadi suatu tantangan dan juga memberikan keuntungan yang sama besar, hal ini menjadikan ‘inequality’ sebagai kata kunci untuk dijadikan fokus dalam menghadapi revolusi industri ini.

Keadaan yang sulit diprediksi mendatang menjadi akar masalah dari banyaknya kekeliruan dalam merumuskan kebijakan. Perubahan masyarakat yang lebih cepat tidak mampu diimbangi dengan penyusunan kebijakan yang adaptif terhadap kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat saat ini.

Tantangan baru kedepan akan diwarnai oleh berbagai disrupsi teknlogi. Oleh karenanya, perlu startegi pembangunan yang releven, tentu saja kita butuh kepemimpinan yang fasih mendorong transformasi dan mengelola masa depan. Sebab selain megatrend di atas, kepemimpinan tentu menjadi isu utama yang butuh perhatian serius.

Berbagai permasalahan sosial di luwu raya seperti kemiskinan, masalah kesehatan, pendidikan, daya saing yang rendah, ketimpangan infrastruktur serta masalah akses dan kesempatan masih menjadi pekerjaan besar yang mendesak diselesaikan. Kepala daerah tidak bisa hanya memikirkan kebijakan di masa jabatannya saja.

Pemerintah daerah perlu terus meramu dan mendorong pengembangan program yang ditunjang kreativitas, inovasi, idealisme, dan integritas dengan melibatkan multistakholder, setiap permasalahan kritikal membutuhkan skenario jangka panjang. Dalam konteks pembangunan kesejahteraan, tentu dperlukan sinergi kuat kelembagaan ekonomi dan politik mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.

Hal ini bisa dicapai jika kepemimpinan di tingkat lokal memiliki kemampuan melakukan orkestrasi inovasi, kolaboratif, eksploratif dan eksperimentatif, namun tidak spekulatif.

Setidaknya, dalam hal menilai kualitas pemimpin publik yang akan memandu kesejhteraan masyarakat di luwu raya mendatang, kita bisa mengujinya dengan menggunakan tiga pertanyaan berikut ;
Pertama, apakah ia berwawasan kebangsaan atau berkepentingan pribadi/golongan?
Kedua, apakah ia membuat terobosan (breakthrough) atau sekadar melakukan perbaikan (improvement)?
Ketiga, apakah terjadi pembaruan signifikan (game changing) atau sekadar perubahan saja? (***)

  • Bagikan