Pahlawan Nasional Tana Luwu Opu Daeng Risadju jadi Nama Jalan di Kota Makassar

  • Bagikan

Wali Kota Danny Pomanto Meresmikan 22 Agustus Mendatang

PALOPOPOS.CO.ID, MAKASSAR-- Satu lagi nama Pahlawan Nasional asal Tana Luwu diabadikan namanya di Ibukota Provinsi Sulsel, Makassar. Adalah, Opu Daeng Risadju. Beliau akan diabadikan namanya menjadi salah satu nama jalan protokol di Kota Makassar tepatnya, Jalan Cendrawasih.

Sebelumnya, Pahlawan Nasional asal Tana Luwu lainnya, Andi Djemma juga sudah diabadikan namanya sebagai nama jalan di Makassar menggantikan nama jalan Landak.

Pemkot Makassar di bawah komando Wali Kota Makassar, M Ramdhan "Danny" Pomanto akan meresmikan nama jalan Opu Daeng Risadju Rabu, 22 Agustus 2023 pekan depan dalam acara khusus.

Jalan yang dipilih untuk dinamai Opu Daeng Risadju sebelumnya dikenal dengan nama Jalan Cendrawasih.

Lokasi peresmian jalan akan dilakukan pukul 09.00 Wita di Jalan Cendrawasih-Jl. H Bau, Kota Makassar.

Diberitakan sebelumnya, pengusulan ini diserahkan Ketua BPW KKLR Sulsel, Hasbi Syamsu Ali kepada Wali Kota Makassar Moh Ramdhan Pomanto tahun lalu di Hotel Claro di acara Pelantikan, Rapat Kerja dan Dialog Nasional KKLR dengan tajuk Sinergi Luwu Raya untuk Sulsel di Hotel Claro.

“Insya Allah, saya sudah bicara dengan ketua DPR dan ketua DPR akan membantu kita semua, dan beberapa kandidat jalan juga kami siapkan,” kata Danny, sapaan akrab Ramdhan Pomanto di Hotel Claro kala itu.

Menurut Danny, nama jalan dari nama pahlawan nasional itu penting apalagi pahlawannya dari Sulsel maka wajib diabadikan di Makassar sebagai ibukota Sulsel.
Ditanya di mana saja lokasi yang menjadi kandidat, ia mengaku sudah memiliki beberapa nama.

Ia mencontohkan, nama jalan yang umum seperti nama hewan, buah dapat digantikan. “Semua nama burung-burung, buah, yang bukan nama orang itu bisa kita abadikan di situ,” sebut Danny. Meski tetap ada prosedur yang harus dilalui.

Ia berharap KKLR terus berkolaborasi dengan pemerintah sebagai elemen masyarakat yang memiliki peran penting.

“KKLR dalah kekuatan yang menopang Sulsel, baik secara adat, wilayah, dan spirit Sulsel. Intinya semua aspek kesejarahannya. Kompaknya KKLR adalah bagian dari optimisme untuk membangun Sulsel ke depan lebih baik,” ungkapnya.

“Kita bisa lihat semua tokoh bersatu. Intinya kalau kita bersatu kita bisa berkolaborasi dan bikin banyak solusi. Ketika banyak solusi maka masa depan kita jauh lebih baik,” harapnya.

YM Datu Luwu Andi Maradang dan Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) KKLR Arsyad Kasmar mengatakan terima kasih kepada Pemkot Makassar yang sudah bersedia mengabadikan salah satu pahlawan asal Luwu. Termasuk telah banyak memberdayakan generasi dan kader-kader KKLR di pemerintahan.

Ia menuturkan organisasi ini menjadi sinergi dan perekat persatuan. “Kita harus bersatu. SDM dan SDA kita besar tetapi kalau tidak sinergi maka jangan harap. Makanya harus bekerjasama, bersatu,” tuturnya.

Ketua Badan Pengurus Wilayah KKLR Sulsel Hasbi Syamsu Ali mengungkapkan KKLR adalah organisasi unik, persatuan dari berbagai macam warna, pemikiran dan budaya. Dari perbedaan itulah yang mempersatukannya.

“Kita memiliki kekuatan luar biasa. Dan pastinya ingin memberikan sumbangsih dan pengabdian kepada Sulsel. Mari membangun persatuan, kesetaraan menuju tanah Luwu sejahtera. Mari bergandengan tangan untuk tanah Luwu,” ungkapnya.

Diketahui sebelumnya nama pahlawan nasional dari Tana Luwu Andi Djemma juga telah menjadi salah satu nama jalan di Kota Makassar.

Pahlawan Opu Daeng Risadju ialah pejuang wanita asal Sulsel yang menjadi Pahlawan Nasional Indonesia. Opu Daeng Risadju memiliki nama kecil Famajjah. Opu Daeng Risadju itu sendiri merupakan gelar kebangsawanan Kerajaan Luwu yang disematkan pada Famajjah yang memang merupakan anggota keluarga bangsawan Luwu.

Biografi
Nama Opu Daeng Risadju akan diabadikan oleh Pemerintah Kota Makassar menjadi nama salah satu jalan di Kota Makassar. Opu Daeng Risadju merupakan sosok pahlawan perempuan yang cukup memiliki pengaruh cukup besar di tanah Sulawesi pada masa penjajahan.

Wanita kelahiran Kota Palopo tahun 1880 itu memiliki nama asli Famajjah. Opu daeng Risadju merupakan keturunan dari Raja Bone XXII La Temmasonge Matimoeri Malimongeng.

Ia meninggal pada 10 Februari 1964 di usia 84 tahun. Ia kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia pada 2006 silam.

Dosen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Dr Suriadi Mappangara M Hum menjelaskan Opu Daeng Risadju sendiri merupakan gelar yang disematkan kepada sosok Famajjah.

"Opu Daeng Risadju merupakan gelar kebangsawanan Kerajaan Luwu. Dia juga pernah bermukim di Parepare," jelas Suriadi kepada detikSulsel, Senin (19/12/2022).

Opu Daeng Risadju adalah pejuang wanita yang turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Ia menjabat ketua PSII pada masa itu.

Ia merupakan sosok pemimpin wanita yang disukai rakyat dan didengar oleh anggotanya. Hal ini lantas membuat Belanda khawatir akan pengaruh Opu di tanah Sulawesi dan membatasi ruang geraknya.

"Pengaruhnya yang hebat itu, dia kemudian dibatasi ruang geraknya. Tapi itu tidak membuat dia kemudian tidak meneruskan cita-citanya," kata Suriadi.

Biografi Opu Daeng Risajdu Keturunan Raja Bone
Melansir jurnal Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya yang berjudul "Pergulatan Opu Daeng Risadju Melawan Penjajah Melalui Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) Sulawesi Selatan 1930-1950" disebutkan bahwa Opu Daeng Risadju dilahirkan di Palopo Luwu tahun 1880.

Ayahnya bernama Muhammad Abdullah To Bareseng dan ibunya bernama Opu Daeng Mawellu. Darah kebangsawanan Famajjah diperolehnya dari ibunya, yang merupakan keturunan langsung (cicit) Raja Bone XXII La Temmasonge Matimoeri Malimongeng yang memerintah dari tahun 1749-1775. Dari garis silsilah, Opu Daeng Risadju adalah seorang bangsawan dari lapisan masyarakat.

Saat dewasa, Famajjah dinikahkan dengan seorang ulama dari Bone yaitu Haji Muhammad Daud, yang merupakan anak dari rekan dagang ayahnya. Haji Muhammad Daud didaulat sebagai imam masjid istana Kerajaan Luwu karena menikahi anggota keluarga bangsawan. Ia juga dikenal memiliki pengetahuan luas mengenai agama Islam.

Atas dasar status sosialnya dalam masyarakat Luwu, Famajjah lantas mendapat titulahir baru setelah menikah dengan memakai nama Opu Daeng Risadju.

Gelar Opu merupakan identitas luhur kebangsawanan diserahkan kepada seseorang yang telah menikah. Sebagai bangsawan, Opu Daeng Risadju mendapat tempat khusus dalam masyarakat.

Meskipun tidak menempati jabatan dalam kerajaan, tetapi gelar Opu yang disandang Opu Daeng Risadju menempati kedudukan terhormat di mata masyarakat Luwu. Dengan gelar tersebut memudahkan Opu Daeng Risadju dalam bergerak secara bebas kemanapun dan dapat menemui semua orang dari semua kalangan masyarakat.

Tidak Mengenyam Pendidikan Formal
Meskipun merupakan kalangan bangsawan Opu Daeng Risadju tidak mengenyam pendidikan formal. Sesuai tradisi, anak gadis Luwu pada saat itu umumnya hanya memperoleh pendidikan agama dan mengaji Al-Quran.

Ia pun awalnya buta huruf, kecuali aksara Bugis. Hal tersebut tidak lantas membuat Opu berdiam diri.

Untuk bisa membaca dan menulis huruf latin ia belajar secara mandiri melalui bantuan saudaranya yang pernah merasakan sekolah formal bernama Mudehang.

Selain itu, Opu Daeng Risadju memiliki pengetahuan Islam luas. Hal ini lantas membuatnya mahir menulis Arab dan Lontara.

Opu Daeng Risadju juga memiliki bakat tersendiri. Yakni memiliki kemampuan dalam mengobati penyakit cacar melalui resep atau ramuan "kepintaran" dalam bahasa Bugis disebut "pappitajang ati".

Berjuang Melalui Partai
Awalnya Opu Daeng Risadju menjadi anggota PSII Parepare. Ia lantas mendapat kepercayaan untuk memimpin PSII di Palopo.

Tidak lama setelah berdirinya PSII cabang Palopo, Opu Daeng Risadju mengikuti konferensi PSII yang diadakan di Parepare pada bulan April 1930. Beberapa perwakilan PSII juga hadir dalam pertemuan tersebut, termasuk pejabat cabang dan pejabat dari Panitia Pusat.

Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh Opu Daeng Risadju untuk menambah wawasan dan pengalaman pembangunan PSII. Dengan cara demikian, Opu Daeng Risadju membuka lebih banyak kesempatan untuk menghilangkan penjajahan dan mencapai kemerdekaan sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat melalui gerakan nasional.

Setelah Opu Daeng Risadju menghadiri konferensi PSII di Parepare ia lalu pergi ke Malangke untuk mendirikan cabang PSII di sana.

Kepemimpinan Opu Daeng Risadju ini lantas dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah kolonial Belanda di wilayah Luwu. Controleur Masamba akhirnya datang ke daerah Malangke dan menangkap menangkap Opu Daeng Risadju bersama sekitar 70-an anggota partai.

Mereka kemudian diangkut ke Masamba dengan dua mobil. Opu Daeng Risadju dituduh menghasut serta menyebarkan kebencian di lapisan masyarakat terhadap pemerintah.
Opu Daeng Risadju tercatat sebagai wanita pertama yang dipenjara oleh pemerintah kolonial karena masalah politik. Tindakan pemerintah kolonial bertujuan untuk mengurangi aktivitas Opu Daeng Risadju dan perkembangan PSII.

Upaya Belanda Batasi Ruang Gerak Opu Daeng Risadju
Upaya penahanan ternyata tidaklah efektif. Belanda lantas mempropaganda atau menggunakan golongan adat (bangsawan dan raja-raja) sebagai tameng untuk membekukan gerakan PSII.

Namun, upaya apapun yang dilakukan oleh kolonial Belanda mengalami kegagalan. Terbukti bahwa PSII mendapat sokongan yang besar dari masyarakat.

Tak hanya di situ, Opu Daeng Risadju bahkan menghadapi berbagai tantangan dan rintangan dari pihak Belanda dalam usaha propaganda partainya yang sekaligus merintis kemerdekaan bangsa Indonesia.

Opu bahkan ditentang oleh pemerintah kerajaan beserta adatnya, hal ini lantaran Dewan Adat berhasil dipengaruhi oleh Belanda. Opu Daeng Risadju pun kemudian dijatuhi sanksi adat karena menolak bujukan Datu dan para anggota dewan adat untuk menghentikan kegiatannya di PSII.

Dewan adat dengan paksa menanggalkan tahta kebangsawanan Opu Daeng Risadju. Sejak saat itu anggota dewan adat tidak memanggilnya Opu Daeng Risadju lagi.

Namun, rakyat yang telah mengagumi dan menghormatinya tetap memanggilnya seperti gelarnya semula. Opu pun tetap tetap melanjutkan perjuanganya meskipun tidak lagi bergelar bangsawan.

Pahlawan di Dua Zaman
Opu Daeng Risadju merupakan pahlawan wanita yang berjuang di dua zaman. Yakni zaman kebangkitan kemerdekaan dan masa revolusi kemerdekaan Indonesia.

Opu Daeng Risadju melakukan gerakan kemerdekaan melalui PSII. Ia juga diketahui berperan dalam jajaran TNI.

Namun, sumber-sumber yang menceritakan kiprahnya di TNI sangat terbatas. Kendati demikian kiprah Opu Daeng Risadju di TNI dibuktikan dengan surat keterangan pemberhentian Opu Daeng Risadju dalam jajaran TNI. Surat keterangan tersebut tertulis "Berdasarkan Instruksi KSAD tanggal 23/1-1950 No. l/lnstr/KSAD/50, dan Perintah Harian tanggal 4/3- 1950 No. 229/Su/PH/50, dinyatakan mengembalikan ke masyarakat para anggota TNI dalam rangka diadakannya rasionalisasi tentara dalam tubuh Angkatan Perang.

Maka berdasarkan Surat Keputusan Pemberhentian tertanggal 25 Maret 1950 0066/Kmd/SKP/XVI/50, Opu Daeng Risadju dengan pangkat pembantu letnan diberhentikan dengan hormat dari jabatan Anggota Staf (Intelegence)."

Akhir Hayat Opu Daeng Risadju
Opu Daeng Risadju mengehembuskan nafas terakhir di Palopo. Ia jatuh sakit selama dua tahun akibat pengaruh usia tua.
Opu meninggal pada 10 Februari 1964 dan dikebumikan di pemakaman raja-raja Lokkoe di Palopo. Pemakaman Opu Daeng Risadju tanpa adanya upacara kehormatan layaknya seorang pahlawan yang telah gugur dan meninggal dunia.

Penetapan Gelar Pahlawan Opu Daeng Risadju
Atas semua perjalanan perjuangannya, Opu Daeng Risadju mendapatkan tunjangan penghargaan dari pemerintah Republik Indonesia. Hal ini tertuang dalam Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia No.227/P.K. tertanggal 26 Februari 1959, tentang pemberian tunjangan penghargaan kepada Opu Daeng Risadju dari Palopo sesuai dengan PP/38/1959 tentang Perintis Pergerakan Kebangsaan Kemerdekaan.
Opu Daeng Risadju tidak dimakamkan sebagai mana prosesi pemakaman seorang pahlawan. Namun ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 2006. Keputusan pemberian gelar ini tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 085/TK/Tahun 2006 pada tanggal 3 November 2006.(idris prasetiawan)

  • Bagikan