Kemiskinan Ekstrim Nol Persen, Mungkinkah?

  • Bagikan

* Oleh : Sitti Hidayah, S.T
(Pemerhati Masalah Sosial dan Aktivis Majelis Qolbun Salim Kota Palopo)


Kemiskinan ekstrim menjadi masalah klasik di banyak negara. Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan 155,2 juta orang di negara berkembang yang berada di Asia Pasifik, atau 3,9 persen populasi kawasan tersebut hidup dalam kemiskinan yang ekstrem, pendapatan kurang dari US$2,15 per hari atau Rp. 32.039, 30 per hari.

Meningkatnya krisis biaya hidup imbas lonjakan inflasi di tahun lalu dan penyebaran pandemi covid 3 tahun belakangan ini menjadi pemicu masalah ini ( https://www.cnnindonesia.com).

Angka kemiskinan bertambah menjadi lumrah ketika ada pandemi melanda. Hanya saja, menjadi tidak wajar ketika tak terselesaikan, di tengah segelintir orang yang malah meningkat kekayaannya di saat yang sama. Ini tak logis di tengah keberlimpahan SDA. Mengapa ada yang sulit memenuhi kebutuhan pokoknya?

Knight Frank mengungkapkan melalui edisi terbaru The Wealth Report (segmen Wealth Sizing Model), di mana Indonesia tercatat memiliki pertumbuhan orang kaya tercepat di dunia atau Ultra High Net Worth (UHNW) sebesar 7%–9%, sama seperti Singapura dan Malaysia.
UHNW atau kelompok yang memiliki kekayaan US$30 juta atau lebih. Di kawasan Asia Pasifik, populasi UHNW mengalami pertumbuhan substansial hampir 51% selama 2017-2022 (sampaijauh.com).

*Kapitalisme Lahirkan Ketimpangan dan Kemiskinan*

Kebebasan kepemilikan dalam ideologi berazas materialisme ini telah menjadi medium ketimpangan ekonomi. Dengan mekanisme pasar bebas, seseorang dengan kekuatan finansialnya bisa mengeksplorasi Sumber Daya Alam (SDA) sebanyak-banyaknya. Bahkan negara hilang perannya dalam regulasi yang seharusnya pro kepada rakyat. Semua dalam kendali pemodal.

Semakin lama pemodal semakin kuat dan membesar. Mayoritas UNHW atau Crazy Rich di Indonesia menguasai bisnis di sektor strategis ini. Bahkan menentukan kebijakan dan perundang-undangan di negeri ini. Tak heran dalam waktu singkat kekayaan mereka melambung di saat pandemi sekalipun.

Dalam kapitalisme, hargalah satu-satunya mekanisme pendistribusian barang dan jasa. Seseorang bisa hidup jika memiliki daya beli untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Tak ada yang gratis meski itu untuk orang-orang lemah yang tak bisa menafkahi dirinya, misalnya: penyandang cacad, disabilitas, lansia,, anak-anak. Semua harus menjadi mesin ekonomi. Lagi-lagi negara tak berdaya dalam hal ini. Inflasi menjadi pukulan bagi rakyat yang sudah sulit memenuhi kebutuhan dasarnya. Kemiskinan akan terus melanda meski tak ada pandemi atau guncangan lainnya.

Dalam pengelolaan harta pun, materialisme menjadikan seseorang tak peduli dengan nilai kebaikan dan kemanusiaan, tak terikat nilai agama, semua halal asal mendapat keuntungan.

Sah menjual miras, khamer, narkoba. Sah berprofesi sebagai pekerja seks, penjual organ manusia dan apa saja yang mendatangkan uang. Menjadi legal judi online. Tak ada larangan membuat konten aneh, lalu diviralkan di media sosial. Industri hiburan unfaedah dikemas dan dikembangkan, merajai dunia nyata maupun dunia maya.

Di sisi lain, riba yang haram menjadi penopang eksisnya kapitalisme, menjadi tempat subur mengambil keuntungan di atas penderitaan pengguna. Mirisnya, di sinilah bisnis paling menggiurkan, tumbuh subur dan kekayaan terkonsentrasi di sektor ini, apalagi dominan dikuasai pula oleh segelintir Crazy Rich.

Kapitalisme pun menjadikan seseorang individualis, tak peduli dan hilang empati, segala interaksi dibangun atas manfaat materi semata. Wajarlah jutaan orang melarat di tengah konglomerat, negara berbisnis dengan rakyatnya, oligarki menggurita dan menguasai aset-aset strategis negeri, termasuk pengelolaan kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan rakyat. Semua telah dikapitalisasi. Sementara ancaman kelaparan, gizi buruk, sakit yang tak tertangani, dan tak terpenuhi kebutuhan dasar lainnya menjadi masalah yang tak kunjung selesai.

Di samping itu, negara dalam kapitalisme membangun infrastruktur dan sarana lainnya, mengandalkan utang ribawi dan pajak dari rakyat. Ini berperan besar dalam memiskinkan rakyat. Tarif pajak dan harga-harga terus naik karena utang ini, tentu karena sangat terpengaruh kondisi ekonomi global dunia yang mengalami krisis secara periodik. Inflasi tiap saat mengancam kestabilan ekonomi.

Sementara lembaga internasional, seperti: IMF, Word Bank, dan lainnya. Alih-alih membantu, malah menambah masalah, menawarkan bantuan dengan utang ribawi.

Hal di atas meniscayakan kemiskinan ekstrim tak terpecahkan bahkan makin meningkat. Apalagi negara membuat regulasi yang memudahkan para pemodal , menyokong eksisnya sistem ini.

Berbagai program bantuan telah dijalankan pemerintah, seperti : Bantuan Langsung Tunai (BLT), bantuan kepada UMKM, kartu prakerja, menaikkan UMR/UMP. Namun tak berdampak signifikan terhadap kesejahteraan rakyat.

Inilah realitas kapitalisme, rusak azas dan menjadi biang kemiskinan ekstrim. Oleh karenanya kita butuh solusi jitu, shohih, menuntaskan kemiskinan, mendatangkan kebaikan dan kesejahteraan.

*Jaminan Menyeluruh Dalam Islam*

Berbeda dengan kapitalisme, Islam memandu manusia tetap dalam kebaikan, merasakan keadilan, kesejahteraan, tak ada kedzoliman yang kuat kepada yang lemah.

Dalam Islam, memiliki dan mengelola kekayaan haruslah sesuai tuntunan Sang Pencipta dan Pemilik kekayaan. Allah Swt. Sebagai wujud ibadah manusia sebagai hambaNya dan manusia sebagai khalifah fil ardh.

Kesadaran hubungan manusia dengan Allah Swt inilah yang menjadi pengontrol hubungan antar manusia dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Seorang muslim selalu menyadari bahwa segala perbuatan diawasi Allah Swt. dan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.

Kepemilikan dalam Islam dibagi tiga, yaitu: kepemilikan individu, kepemilikan negara dan kepemilkan umum. Kepemilikan umum seperti: SDA berupa tambang emas, mineral, batubara, minyak, dan lainnya, tidak boleh dimiliki dan dikelola oleh individu atau swasta.

Negara mengelola kepemilikan umum tersebut, hasilnya digunakan untuk kemaslahatan dan kebutuhan rakyatnya. Sehingga rakyat bisa menikmati layanan pendidikan, keamanan dan kesehatan murah bahkan gratis namun tetap berkualitas. Pengaturan ini juga mencegah penguasaan kekayaan publik oleh segelintir orang atau korporat.

Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Nidzomul Iqtishodi fil Islam merinci, seseorang boleh memiliki kekayaan melalui lima mekanisme, yaitu Pertama:, bekerja. Kedua, pewarisan. Ketiga, kebutuhan atas harta untuk menyambung hiidup untuk yang tidak mampu bekerja melalui skema penafkahan, jika tidak didapati seorangpun penanggung, maka nafkahnya ditanggung Baitul Mal atau negara. Keempat, rakyat diberi harta oleh negara untuk memenuhi hajat hidup atau memanfaatkan kepemilikan mereka, seperti: memberi harta untuk menggarap tanah mereka atau melunasi utang-utang mereka. Kelima, harta yang diperolah tanpa kompensasi harta atau tenaga, yaitu: berupa hibah, hadiah, wasiat, mahar, barang temuan (luqathah), dan santunan bagi pejabat pemerintahan.

Dengan begitu distribusi harta bukan hanya dengan bekerja atau dengan harga yang harus dibayarkan untuk memenuhi kebutuhan. Ini juga menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok individu per individu secara menyeluruh, sehingga seseorang berpeluang mampu untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya, setelah kebutuhan dasarnya tercukupi.

Islam dengan Politik Ekonominya membuka lapangan kerja seluas-luasnya sehingga laki-laki baligh bisa bekerja menafkahi orang yang wajib ia nafkahi, seperti: istri, anak, saudara perempuan, ibu dan kerabat lainnya.

Begitu pula pertanian, industri dan perdagangan dikembangkan sesuai tuntunan syari'at, dengan dana dari Baitul Mal yang akan menopang tersedianya lapangan kerja bagi rakyat.

Jika kas Baitul Mal kosong, maka negara memungut dharibah/pajak dari rakyat. Ini hanya diambil dari orang kaya saja untuk memenuhi kebutuhan yang genting, seperti: penanganan bencana, dan kebutuhan lainnya.

Islam pun melarang pemilikan tanah tanpa menghidupkannya dengan batasan tiga tahun. Negara akan mengambil tanah untuk dikelola yang lain jika telah melewati tiga tahun. Ini akan menjadikan lahan produktif, membuka lapangan kerja serta memperkuat ketahanan pangan.

Dalam industri dan perdagangan, negara melarang mengembangkan industri yang mengelola atau memproduksi barang dan jasa yang diharamkan, seperti khamr, narkoba, jasa prostitusi, perjudian dan lain-lain.

Negara dalam Islam tak membolehkan praktek riba, penimbunan emas dan perak, kecurangan dalam jual-beli yang menyebabkan distorsi pasar dan menyumbat rantai distribusi barang dan jasa. Harga-harga pun tetap stabil.

Islam disamping mewajibkan zakat, juga mendorong seorang muslim bersedekah, berinfak untuk fakir-miskin dan kepada yang membutuhkan. Sebagai wujud tolong-menolong dan kepedulian kepada yang tidak mampu.

Alhasil, dengan semua mekanisme di atas akan terwujud keseimbangan ekonomi dan tak seorangpun yang tidak terpenuhi kebutuhan pokoknya.

Allah Swt. telah mengingatkan dalam firmanNya:....supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian (QS al-Hasyr: 7).

Demikianlah, yang telah dipraktekkan langsung oleh Rasulullah saw, dilanjutkan para Khalifah setelah beliau, selama kurang lebih 13 abad.

Peradaban mulia dengan sistem terbaik, teruji, solutif, memastikan distribusi kekayaan secara menyeluruh, individu per individu. Tak hanya menuntaskan kemiskinan namun juga menyejahterakan. Inilah yang kita dambakan untuk menggantikan kapitalisme yang fasad dan sudah sekarat. Wallahua'lam. (*)

  • Bagikan