Menggapai Kepercayaan Publik

  • Bagikan

Oleh: Dr. H. Muammar Arafat Yusmad, S.H.,M.H

(Dosen IAIN Palopo)

SEKALI lancung ke ujian, seumur hidup orang tak akan percaya. Sebuah pepatah tua Melayu yang sarat akan makna betapa pentingnya menjaga kepercayaan dalam kehidupan ini. Sekali saja berdusta atau berkhianat, maka jangan harap orang-orang akan percaya lagi.

Kepercayaan adalah bekal kehidupan yang sangat penting untuk dijaga. Sebab tanpa kepercayaan, hidup akan terisi dengan kecurigaan dan kedustaan semata. Kepercayaan harus dilandasi dengan kejujuran dan tanggung jawab. Ketika seseorang itu jujur, maka ia akan dipercaya dan mampu menjaga kepercayaan yang diberikan. Kepercayaan bukan hanya sekadar ucapan, namun harus dibuktikan dengan perbuatan, sehingga secara empiris orang-orang akan melihat bahwa dirinya layak untuk mendapatkannya. Pada skala yang lebih luas seperti dalam hubungan sosial kemasyarakatan, pelayanan publik, pemerintahan, dan penegakan hukum, kepercayaan semakin penting artinya karena yang akan diraih adalah kepercayaan publik (public trust) dan “taruhannya” adalah rekam jejak reputasi kelembagaan itu sendiri dalam jangka panjang.

Baru-baru ini Indikator Politik Indonesia melaksanakan survei kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara yang dilaksanakan dalam rentang waktu 25 Agustus sampai 03 September 2023. Survei menempatkan sebanyak 1200 orang responden dengan tingkat kepercayaan 95%. Peneliti utama Indikator Politik Indonesia, Rizka Halida merilis hasilnya saat memaparkan hasil survei tentang ‘The Swing Voters, Efek Sosialisasi dan Tren Elektoral Jelang Pilpres 2024’.

Kejaksaan Agung RI (Kejagung) menjadi lembaga penegakan hukum yang paling dipercaya oleh publik bila dibandingkan dengan institusi penegakan hukum lainnya. Tingkat kepercayaan publik terjadap Kejagung adalah 76%. Artinya, 76% responden percaya pada kinerja Kejagung dalam menegakkan hukum dan korps Adhyaksa adalah lembaga penegakan hukum yang terpercaya oleh publik. Pada peringatan Hari Bakti Adhyaksa ke-63 Tahun 2023 lalu, Presiden Joko Widodo bahkan mengucapkan selamat kepada jajaran Kejagung yang berhasil mempertahankan tingkat kepercayaan publik (public trust). Jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga negara lainnya, Kejagung berada di posisi ketiga di bawah Presiden 91% dan TNI 93%.

Publik menilai Jaksa Agung ST Burhanuddin mampu bersikap tegas kepada bawahannya dalam penegakan hukum. Jaksa agung selalu menginstruksikan pada jajarannya agar melakukan pendampingan dan pengawalan dalam penegakan hukum seperti program Anggaran Dana Desa agar dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat secara berkelanjutan. Jaksa Agung Burhanuddin menegaskan, “Jangan sampai para kepala desa karena ketidaktahuannya menjadi objek pemeriksaan aparat hukum. Apabila tidak ditemukan adanya “mens rea” yaitu niat jahat, kesengajaan, kecurangan, dan kelalaian agar dilakukan bimbingan dan pembekalan sehingga pembangunan di desa tepat waktu, tepat mutu, dan tepat sasaran.” Ketegasan jaksa agung ini sesuai dengan slogan kejagung yaitu Penegakan Hukum yang Tegas dan Humanis dalam Mengawal Pembangunan Nasional.

Adapun di posisi kedua institusi penegakan hukum yang dipercaya oleh publik ditempati oleh pengadilan dengan angka 73%, dan Kepolisian RI (Polri) menempati posisi ketiga sebesar 72%. Posisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berada di belakang Polri dengan tingkat kepercayaan 71%. Pulihnya kepercayaan publik terhadap Polri membuatnya kini berada di atas KPK, MPR, DPR, dan DPD termasuk partai politik.

Tingkat kepercayaan publik terhadap Polri sempat jatuh pada level terendah sepanjang sejarah yaitu di angka 53% dikarenakan sejumlah kasus seperti pembunuhan Brigadir Yoshua Hutabarat oleh atasannya Irjen Ferdi Sambo, tragedi stadion Kanjuruhan Malang, dan viralnya tagar #percumalaporpolisi di jagad maya akibat penghentian kasus dugaan pemerkosaan tiga anak di Luwu Timur. Beberapa faktor yang mendasari pulihnya kepercayaan publik kepada Polri adalah ketegasan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang menindak sejumlah jenderal dan perwira senior yang tersangkut perkara pidana dan kapolri juga tak segan untuk menjatuhkan sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap para anggotanya yang melanggar hukum. Sikap Kapolri tersebut dipersepsikan oleh publik sebagai netralitas dan tidak melindungi bawahannya yang melakukan pelanggaran dan perbuatan tercela.  

Pada realitas kehidupan, menjaga atau mempertahankan kepercayaan lebih sulit daripada membangunnya. Lembaga-lembaga negara khususnya dalam bidang penegakan hukum yang medapatkan kepercayaan hendaknya lebih peka dan responsif dalam menyahuti kepentingan publik. Kejahatan bisa subur karena orang-orang baik yang berpangku tangan. Jangan “bermain api” dengan kewenangan besar yang dimiliki. Kepercayaan ibarat selembar kertas, sekali saja teremas dan kusut maka jangan harap akan sempurna kembali. (***)

  • Bagikan