Pemilu dan Ujian Kedewasaan

  • Bagikan

* Oleh: Wahyu Hidayat
(Dosen Universitas Cokroaminoto Palopo)


Dulunya mereka dekat bahkan lekat, karena urusan Pilpres 2024, belakangan mereka sering terlibat adu debat dan saling babat lalu muncullah sekat. Dan akhirnya, hubungan sejawat tamat. Muncul keputusan nekat dengan membatalkan pertemanan dan memblokir satu sama lain di jaringan digital.

Fenomena unfriend dan unfollow atau left group di jejaring sosial berulang. Musababnya apalagi kalau bukan peristiwa jelang pesta lima tahunan. Pemilu sebulan lagi, tapi hawanya sudah panas dari sekarang. Riuh pedebatan politik di linimasa mengancam dan membahayakan hubungan pertemanan.

Haruskah sampai segawat itu? Mengorbankan hubungan sahabat apalagi kerabat yang sudah lama dirawat demi urusan Pemilu yang sudah dekat.

Silakan gunakan panggung bernama media sosial sebagai ruang diskusi secara sehat. Tetapi tidak perlulah ada kesinisan. Hindari diksi-diksi negatif. Jauhi sikap reaktif, emosional, sumbu pendek. Buat apa bersikap terlalu berlebihan karena itu sama saja dengan mengembangbiakkan umpat-cela yang jauh lebih gawat dampaknya. Tidak perlu ada letupan emosi yang meluap-meluap. Tidak penting, apalagi genting untuk dilakukan. Masih banyak hal serius yang perlu kita percakapkan daripada sekadar larut dalam debat kusir tiada ujung. Perkara demikian justru lebih baik disingkirkan ke tepi-tepi.

Berpaling dari itu semua lebih menguntungkan. Kedepankan prinsip berkasih sayang. Buat apa saling sindir, saling serang lalu meradang. Jika demikian, rusak persabahatan menjadi harga yang harus dibayar kontan.
Politik memang begitu, selalu berkemelut. Karena di sanalah beragam kepentingan bertemu. Namun demikian, tidaklah berarti kebencian harus ditanam. Hadirkan politik sebagai medium kemaslahatan bersama. Sebagai sarana mempererat tali persaudaraan.

Patut disadari bahwa menghormati perbedaan adalah prinsip demokrasi. Entitas politik berbeda ibarat lawan di arena pertandingan, bukan medan peperangan.

Sulit kita mengatur pikiran orang lain. Tidak bisa kita mengendalikan pilihan orang lain. Berbeda pandangan itu wajar. Tidak ada hukum yang mengharamkan kita untuk berbeda. Tapi politik itu politik, teman tetaplah teman. Jangan karena perkara kontestasi, koneksi lantas diputus. Sebuah keputusan yang kekanak-kanakan!
Mengapa juga harus ada tindakan sesuka hati dengan menerbitkan konten-konten politik yang sedikitpun tidak ada toleransi terhadap pandangan yang berlawanan. Main sikat, main tuding, dan melempar fitnah. Seolah-olah platform jejaring sosial adalah miliknya pribadi. Tidak lagi peduli nilai-nilai bersama secara kolektif yang berlaku di media sosial sebagai ruang publik.

Pemilu ini ujian kedewasaan. Dewasa dalam bersikap. Bersikap terbuka dan berlapang dada. Dialog dan tukar gagasan lebih utama ketimbang main “angkat banting” jagonya diangkat tinggi-tinggi dan yang berbeda dibanting rendah serendah-rendahnya. Isi ruang media sosial dengan perdebatan konstruktif. Bahas isu substansial bukan menyasar gosip personal.
Kita harus siap menghadapi suhu politik yang memanas. Caranya bagaimana? Ya itu tadi, dewasa dalam bersikap.
Sekali lagi, Pemilu itu ujian kedewasaan. Yang tetap menjaga relasi dan mampu memelihara persaudaraan di tengah riuhya kontestasi, itulah yang dewasa.

Silakan menyiarkan minat-minat personal di ruang media sosial, tapi hormati pilihan lain yang tersedia. Lebih berguna mengawetkan perkawanan daripada larut dalam perdebatan yang berpeluang menimbulkan keretakan yang sukar diselamatkan.
Ingat, teman susah didapat!. (*)

  • Bagikan