MARTABAT KEDATUAN DAN KONSTRUK KETATANEGARAAN YANG TIDAK BERPIHAK PADA WARISAN LELUHUR

  • Bagikan

Apdal Ghifari M.Sos
Direktur Rumah Narasi Indonesia

Pleno KPU sudah selesai termasuk dalam pleno DPD RI, yang menjadi perbincangan masyarakat Tana Luwu adalah apakah ada putra Tana Luwu yang bisa duduk sebagai senator pada periode ini, pada periode 2024-2029. Terlebih dalam kontestasi ini ada dua putra Luwu yang maju berkontestasi dan salah satunya adalah orang nomor satu dari Kedatuan Luwu yaitu Yang Mulia Datu Luwu Andi Maradang Mackulau, SH. Kemudian putra Luwu yang juga maju dalam kontestasi adalah seseorang yang dituakan dan sangat dihormati di Tana Luwu yaitu Andi Hatta Marakarma, mantan Bupati Luwu Timur. Ternyata dari hasil pleno yang dilakukan KPU kedua tokoh tersebut tidak lolos.

Lantas dengan tidak lolosnya kedua tokoh ini, khususnya Datu Luwu sebagai simbol kehormatan kedatuan Luwu, apakah membuat kita malu sebagai masyarakat tana Luwu, khususnya martabat kedatuan sebagai simbol kehormatan kita akan runtuh, tentu ini menjadi sebuah pertanyaan lanjutan, sebab pertarungan elektoral ini cakupannya satu provinsi.  Sebab kalau kita crop suara di Tana Luwu ternyata diantara empat kabupaten kota di Tana Luwu,  suara datu sangat signifikan bahkan di dua daerah yaitu luwu dan palopo, Datu memperoleh suara di atas 50 persen bahkan di kota Palopo beliau di atas 60 persen.

Capaian ini sangat tinggi kalau kita tarik ke tingkatan kabupaten kota, karena di Sulsel tidak ada satupun calon DPD RI yang bisa meperoleh suara se signifikan itu bahkan barangkali calon DPD RI dari seluruh Indonesia. Namun yang menariknya lagi, yang patut menjadi pembanding adalah permaisuri atau istri sultan Hamengku Buwono X yaitu Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas yang juga menjadi calon DPD RI dari provinsi DIY Yogyakarta, suaranya tidak mencapai 50 persen di kabupaten/kota yang ada di provinsi tersebut, terlebih se DIY Yogyakarta beliau hanya memperoleh suara 29,92 persen. Padahal DIY adalah satu-satunya daerah yang secara kultural maupun struktural dibawah kekuasaan sultan, Olehnya itu kita bisa berani mengatakan bahwa persatuan masyarakat tana Luwu sangat tinggi, itupun ditengah tidak masifnya Datu dalam melakukan kampanye. Kita tidak mengetahui seandainya beliau masif, bisa saja capaian itu lebih dari sekarang dan bahkan bisa lolos ke senayan.

Namun paling tidak kita sudah membuktikan bahwa siri kita sebagai orang luwu tetap kita jaga. Walau ini tetap menjadi catatan penting buat kita kedepan bahwa perlu kematangan lagi dalam proses ini khususnya lintas elit, walaupun majunya Datu Luwu sebagai kontestan tak lepas dari pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat. Namun itulah proses dinamika yang kita lihat di masyarakat.  Bukankah memang adalah hal yang sangat wajar, jika hari ini Datu ingin masuk dalam rana pengambilan kebijakan formal, bahkan kalau kita menilik ke sejarah, kedatuan pernah dijanjikan sebagai daerah istimewa oleh presiden Bungkarno kepada Datu Luwu saat itu yaitu Andi Djemma.

Nah kedatuan hari ini memang seharusnya bukan hanya sekedar simbol tanpa punya mandat sedikitpun dalam ruang pengambilan kebijakan dan ini selaras dengan beberapa pihak yang mengusulkan terkait dengan DPD RI bisa menjadi lembaga untuk menampung perwakilan simbol kerajaan, kesultanan atau kedatuan dari berbagai daerah di Indonesia sebagai ruang penghargaan kepada kerajan-kerajan tersebut yang telah memberikan kekuasaan formalnya serta kedaulatan daerahnya ke negara pasca kemerdekaan. Sekaligus ruang perpanjangan dalam menyerap berbagai aspirasi dari daerahnya khususnya terkait dengan aspek budaya lokal. Ini sesuai dengan semangat dari lahirnya undang-undang otonomi daerah agar daerah bisa tumbuh dengan khasana lokal.

Memang akan lebih rumit mencari bagaimana pola penetapannya, apakah tanpa melalui proses election yaitu langsung penunjukan. Juga yang menjadi kerumitan adalah menetapkan kerajaan, kesultanan dan kedatuan mana yang akan diakui negara yang memiliki hak menempatkan utusannya di DPD RI, nanti bisa jadi muncul pengakuan mengatasnamakan kerajaan tertentu yang sebelumnya tidak pernah kedengaran tibah-tibah muncul. Namun lepas itu memang negara harus memikirkan secara bijak nasib kerajaan-kerajaan ini, karena hari ini seolah negara demokrasi menjadi pembunuh bagi kerajaan-kerajaan yang telah berjasa memperjuangkan tana air ini jauh sebelum lahirnya negara ini. 

Padahal banyak negara-negara demokarsi modern hari ini yang tetap mengelaborasi sistem demokrasi dengan keberadaan kerajaan warisan masa lampau sebutlah Belanda, Kanada, Spanyol dan Jepang masih tetap menempatkan warisan kerajaan menyatu dalam nomenklatur sistem ketatanegaraan negara demokrasinya. Begitupun negara tetangga kita negeri jiran Malaysia memadukan antara demokrasi dan monarki secara proporsional dalam sistem ketatanegaraannya. Rata-rata negara tersebut diatas megadopsi sistem demokrasi parlemen dalam monarki konstitusional. Bukan berarti kita ingin meniru secara teknis sistem ketatanegaraan negara-negara tersebut akan tetapi pada tataran substansinya yaitu keberpihakan pada elemen penting warisan leluhur bangsa kita.

Negara ini harus memikirkan kelangsungan kerajaan-kerajaan ini, karena mereka adalah garda terdepan sebagai penjaga kelangsungan akar kebudayaan kita sekaligus merawat nilai-nilai moral dari bangsa ini. Jangan sampai budaya dan nilai-nilai moral bangsa kita yang luhur itu akan hilang ditelan masa. Maka hilangnglah juga identitas atau jati diri kita sebagai bangsa ditengah-ditengah penetrasi budaya asing yang begitu masif menghampiri kita diera globalisasi saat ini.(*)

  • Bagikan