“Return! (Saat Kita Berada dalam Gelombang Besar Yang Tak Nyata)”

  • Bagikan

Oleh: DR (c) H.A.M ARHAM BASMIN MATTAYANG, S.Sos, MM

Bagaimana jika seandainya mindset generasi muda kita telah dibesarkan oleh efek "merasa wow" pada dimensi sosial dari suatu produk teknologi?
Dan bagaimana jika produk teknologi itu telah menjauhkan mereka dari fisik sebuah teks book?
Percaya atau tidak. Kedua persoalan di atas tengah mendera generasi muda kita dengan kondisi 'jelang akut' .

Menenteng produk terbaru ataupun yang lama dari teknologi dengan logo apple dibelakang misalnya, adalah sebuah kondisi dimana mereka digiring oleh penciptaan Dimensi Sosial dari para konsultan Cerdas-Profesional perusahaan merk kenamaan tersebut. Ironinya, itu justru menjadi prestise tersendiri bagi mereka. Dimensi sosial oleh Professor kenamaan asal Jerman Jens Beckert adalah dimensi yang menghubungkan pemilik barang tertentu dengan status sosial orang-orang tenar yang ikut memiliki barang dengan merk yang sama. Semacam seolah-olah mirip idola. Dimensi ini pula menggiring mereka dalam sebuah status sosial yang mereka inginkan namun sesungguhnya mereka tetap saja jauh dari status tersebut. jelas ini berbahaya bagi mentalitas generasi kita dalam beberapa tahun yang akan datang.

Di sisi lain, E-book adalah trend masa kini yang banyak digandrungi. Sekali klik untuk mengunduh banyak, itu jauh lebih menarik dibanding dengan merogoh kocek dalam-dalam dan berjalan mengitari toko buku yang belum tentu juga kita akan membelinya. Mudah-menggampangkan-tidak terbebani karena bukan barang dibeli-tidak pernah tuntas dibaca. Demikian kira-kira kemungkinan siklus pada efek E-book gratisan di dunia maya. Efek positif tetaplah ada, namun tak berarti kita abai pada sisi negatifnya.

Saya sempat merenungkan fenomena tersebut beberapa jam jelang ujian Proposal Disertasi saya beberapa waktu lalu. Tak ada yang salah dengan memiliki gadget atau barang-barang mahal dari merk terkenal, itu sah-sah saja. Wajib malah jika itu adalah kebutuhan dalam aktivitas kita. Sepengetahuan saya, agama tak melarang kita memilikinya walau sederhana sebaiknya tetap menjadi pilihan utama.
E-book juga tidak ada masalah jika terkadang membacanya, mengikuti trend teknologi tetap perlu menjadikan diri kita bagian di dalamnya, walau buku fisik sebaiknya tak boleh kita tinggalkan.

Dari fenomena diatas, sesungguhnya ada dua Kekhwatiran di benak saya yang hingga detik ini terkadang membuat saya cukup gelisah. Kekhwatiran kedua saya adalah jika fenomena diatas telah membuat generasi muda kita justru kehilangan substansi manfaat dari sebuah kemajuan teknologi. Saat style lebih prioritas, dari isi utama. Dan sebuah buku digital hanya numpang lewat di kepala generasi kita. Dan kekhwatiran utama saya adalah, jika dua hal diatas justru membuat mereka lengah dan tak pernah menyadari sebuah Gelombang besar yang tak nyata akan segera menerjang bahkan berpotensi memporak-porandakan perekonomian kita.

Akan menjadi sebuah ironi jika setiap saat gadget mewah di tangan tak mampu mengantarnya ke inti informasi akan sebuah era baru krisis stagflasi hebat yang belum pernah ada sebelumnya di belahan bumi ini. Gelombang Besar itu adalah Resesi Global. Prediksi dan analisis tersebut terungkap dari seorang ekonom top dunia. Punya reputasi hebat dari berkali-kali analisis dan ramalannya yang jarang meleset. Salah satu diantaranya adalah krisis pasar perumahan di USA tahun 2007. Dia adalah Nouriel Roubini, profesor ekonomi dari New York University yang padanya disematkan gelar "Mr Kiamat".

Lebih Dahsyat dari Krisis 98?

Inggris telah dibuat sempoyongan, tiga kali berganti Perdana Menteri hanya dalam tujuh pekan akibat tak mampu berbuat banyak mencari jalan keluar. Indonesia cepat atau lambat diprediksi akan diterpa badai yang sama.
Pulih lebih cepat bangkit lebih kuat rasa-rasanya masa berlakunya hanya sampai setelah pesta rakyat HUT kemerdekaan selesai. Dia tak mampu menjadi slogan dalam jangka panjang guna menjadi spirit bertahan dalam menghadapi badai besar ini kedepan. Setiap hari kita lebih disibukkan dengan perkembangan kasus persidangan seorang polisi yang ditembak mati. Kita lebih tertarik menikmati drama rumah tangga seorang artis jebolan kontes dangdut yang akhirnya rujuk kembali. Dan kita serasa lebih asik menikmati dinamika isyu soal persaingan siapa capres 2024.
Hemat saya, adalah lebih bijak jika segera membuat penyatuan visi serta merapatkan barisan dengan pemerintah khususnya di Sulawesi Selatan dalam sebuah agenda besar ditengah menyambut kesulitan di era krisis nanti. Sebab krisis global ini sulit terhindarkan. Konon diprediksi lebih dahsyat dari krisis moneter tahun 98. Survive mungkin hanya menjadi salah satu alternatif.
Generasi muda dan pemerintah di Sulsel ini sudah saatnya mengeratkan kembali sebuah circle yang di dalamnya diisi oleh segenap kaum muda dalam berbagai level. Kesampingkan status sosial, ini persoalan urgen yang akan mempertaruhkan masa depan perekonomian dan kelangsungan bangsa ini.
Ketahanan pangan akan menjadi modal besar kita menghadapi kedepan yang oleh Presiden menyebutnya sebagai "Tahun Gelap, Ada Badai Besar". Generasi muda di Sulsel adalah kelompok anak muda yang beruntung karena berada pada tanah yang subur dan kekayaan SDA yang melimpah.
Dimensi Sosial dari sebuah produk tak boleh membuat kita jauh dari akar budaya kita, sebab
resesi dunia ini tinggal menunggu waktu, warisan kearifan lokal akan menambah amunisi ketahanan kita menghadapi resesi ini.

Jika para pengamat telah memprediksi peristiwa kesulitan besar ini beberapa tahun lalu, saya justru berfikir,
jangan-jangan ratusan tahun yang lalu para nenek moyang kita di belahan bumi bernama Tana Luwu telah memprediksi Tahun Gelap ini. Mereka telah mengirimkan sinyalemen dari masa lalu dengan sebuah kalimat bermakna untuk Indonesia dan untuk Sulawesi Selatan, bahwa

Daerah yang subur dan kaya akan sumber daya alam serta mampu menghidupi dirinya sendiri.

Saat kita berada dalam sebuah ancaman besar, dimana dia berpotensi menggulung kita dengan sebuah badai bernama krisis. Maka tak ada alasan buat kita untuk tidak merespon sinyal dari masa lalu,
"Wanua Mappatua Naewai Alena".
Dan setelah itu, Return!…. kembalilah, sebab kepala anak cucu kita kelak harus tegap penuh bangga, bahwa kita adalah pendahulu mereka yang berhasil melewati gelombang besar yang tak nyata ini. (Jakarta 29/10/22) (***)

  • Bagikan