“Dilema Diversifikasi Pangan dengan Masifnya Konversi Lahan Sagu di Tana Luwu”

  • Bagikan

Dr. Masluki, S.P.,M.P.
(Dosen Fakultas Pertanian UNCP)

Ancaman krisis pangan dunia menjadi permasalahan serius sejak pandemi covid-19 dengan terhambatnya distribusi, asimetri informasi dan akses pangan dunia. Pasca pandemi diperparah dengan naiknya harga gandum akibat perang Rusia-Ukraina sebagai pengekspor gandum terbesar dunia. India mengambil kebijakan menghentikan ekspor beras termasuk ke Indonesia setelah lahan padinya gagal panen dilanda banjir bandang. Fenomena el-nino akan berdampak pada menurunnya luas panen padi akibat kemarau berkepanjangan di Indonesia, Vietnam dan Thailand. Pada sisi lain, potensi pangan lokal sagu sangat besar dapat menunjang diversifikasi pangan dunia. Sagu telah terbukti mampu menyelamatkan krisis pangan di Tana Luwu saat terjadi gejolak politik, krisis ekonomi maupun bencana gagal panen padi akibat musim kering dan banjir.
Sagu pangan pokok nenek moyang yang tidak bisa dipisahkan dari budaya dan peradaban Tana Luwu. Sejak abad ke-18, pelaut bugis-Luwu telah memperkenalkan pati sagu ke negara Singapura. Hingga saat ini, beberapa desa di Tana Luwu masih menjadikan sagu sebagai makanan pokok. Penelusuran pangan lokal di Tana Luwu tercatat beberapa keluarga yang masih hidup dan tergantung pada pangan sagu. Responden Kunci yang di temui mengutarakan bahwa setiap hari masih mengkonsumsi pangan dari sagu, bahkan masih ditemukan masyarakat yang menjadikan sagu sebagai pangan pokok. Pada masyarakat kawasan pesisir umumnya mengkonsumsi sagu dalam bentuk “dange” sedangkan didataran menengah hingga tinggi mengkonsumsi “kapurung”. Wilayah tersebut berada di sentra sagu Desa Kaili Suli Barat, Pasamai Belopa, Bosso Timur Walenrang Utara Kabupaten Luwu, Desa Tokke dan Waelawi Malangke Barat Luwu Utara.
Sagu pangan organik yang memiliki segudang manfaat yang belum banyak terungkap. Sagu sebagai penghasil karbohidrat terbaik di dunia berdasarkan umur pembentukan pati dan tidak mendapat perlakuan bahan kimia seperti pestisida, zat pengatur tumbuh dan pupuk. Pati sagu memiliki kandungan karbohidrat yang lebih tinggi dibandingkan tanaman penghasil karbohidrat lainnya. Pati sagu memiliki indeks glikemik yang rendah sehingga aman bagi penderita maupun mencegah penyakit diabetes. Sebelum digantikan dengan pangan beras, satu pohon sagu yang dipanen dapat memenuhi kebutuhan karbohidrat dalam satu rumah tangga selama satu tahun.
Secara turun-temurun, seluruh bagian morfologi sagu memiliki manfaat beragam ; daun sebagai atap dan balabba. Pelepah sebagai bahan rangka bangunan dan dekorasi pesta serta kulit pelepah dibuat bubu ikan. Kulit batang dibuat bahan bakar, dinding dan lantai bangunan. Bonggol sagu dijadikan sayuran, akar dijadikan tali pengikat. Saraeng atau limbah ampas sagu sebagai pakan ikan dan ternak, pupuk kompos, media budidaya jamur serta batang bekas tebangan sebagai media budidaya ulat sagu.
Habitat sagu di Tana Luwu tersebar luas dari dataran tinggi Latimojong hingga pesisir Malangke Barat. Sagu memiliki daya adaptasi tinggi pada cekaman suhu dan intensitas cahaya matahari rendah pegunungan, genangan air sepanjang tahun di rawa, salinitas air garam di lahan pesisir dan tanah masam pada lahan gambut. Sagu tumbuh optimal pada lingkungan dengan ketersediaan air yang cukup di dataran rendah di sempadan sungai, rawa mineral yang tidak tergenang sepanjang tahun. Ekosistem hutan sagu menjadi rumah bagi ikan, udang, kepiting dan kenakeragaman hayati lainnya. Hal tersebut menjadi indikator bahwa Kawasan sagu mampu menyerap polutan air serta menjaga suhu dan pH air tetap stabil.
Sagu menjadi salah satu sumber pangan yang tidak terdampak perubahan iklim. Secara alami, sagu membentuk iklim mikro tersendiri sehingga sagu tetap produktif meskipun musim kemarau dan hujan berkepanjangan, dimana tanaman budidaya intensif seperti padi, jagung dan kedelai tidak dapat tumbuh dengan baik. Meskipun sagu memiliki umur panen yang panjang hingga 10 tahun setelah tanam, namun sagu yang telah membentuk rumpun di habitatnya akan menghasilkan generasi yang dapat dipanen secara berkelanjutan. Penataan kawasan sagu akan menghasilkan produksi tertinggi diantara sumber pangan lainnya. Produksi sagu Tana Luwu mencapai 300 kg/pohon sehingga dapat dihasilkan 30 ton/tahun/ha jika memiliki 100 rumpun dengan jarak tanam 10x10 m.
Kurangnya Inovasi teknologi dari hulu ke hilir di Tana Luwu menyebabkan harga pohon sagu murah Rp.100.000 - Rp. 300.000/pohon tergantung volume, jenis aksesi dan akses transportasi. Asimetri teknologi dan informasi pasar memperparah nilai ekonomi sagu. Umumnya petani sagu menjual batang sagu ke kilang pengolah sagu. Harga sagu tergolong rendah hanya berkisar Rp.3.000/kg pati basah dan kering mencapai Rp.10.000/kg. Pada kondisi tersebut, konversi lahan sagu sulit dihindari menjadi pemukiman, perkantoran, rumah sakit, bandara, lahan sawah, palawija, perkebunan kelapa sawit, jeruk, tambak dan lainnya. Alih fungsi lahan sagu tidak lepas dari kebutuhan ekonomi masyarakat pemilik lahan sagu yang terus-menerus termarjinalkan.
Data Citra Satelit Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan mengungkap tingginya alih fungsi lahan sagu khsusunya di Kabupaten Luwu Utara. Dalam kurun waktu 5 tahun angka konversi lahan sagu mencapai 787,16 ha. Sebagai pengingat, luas lahan sagu tahun 2015 mencapai 1.711,47 ha sedangkan pada tahun 2020 hanya tersisa 924,31 ha. Sehingga diperkirakan kurang dari 5 tahun kedepan, jika tidak ada upaya konservasi dan replanting, maka lahan sagu di Luwu Utara akan hilang dalam peta. Begitupun dengan lahan sagu di Kabupaten Luwu dari 1.332,05 ha pada tahun 2015, hanya tersisa 1.011,43 ha pada tahun 2020. Di Kota Palopo, lahan sagu yang hilang mencapai 187,95 ha dengan perincian 313,17 pada tahun 2015 terisisa 125,22 ha pada tahun 2020. Kabupaten Luwu Timur dengan luas lahan 116,72 pada tahun 2015 berkurang menjadi 95,74 ha pada tahun 2020.
Dilema makin meningkatnya kebutuhan dan harga pangan nonsagu seperti beras dan gandum akan memicu terjadinya krisis pangan. Kawasan sagu yang tersisa umumnya hanya terdapat pada daerah marginal untuk tanaman budidaya lainnya. Konversi lahan sagu dibeberapa daerah telah terbukti banyak gagal, budidaya intensif dengan merubah fungsi ekologis tidak dapat bertahan lama. Kondisi lahan yang dipaksanakan untuk komoditas musiman rentan terdampak bencana kering dan banjir. Pada sisi lain, sagu yang tumbuh endemik telah beradaptasi selama puluhan tahun sehingga dapat bertahan dalam kondisi lingkungan yang tidak menentu. Sagu yang ditata dan dikelola secara terpadu akan menghasilkan produksi optimal, menahan laju aliran permukaan, erosi, bank karbon dan air. Peran para pihak khususnya pemerintah, pihak swasta, media massa, pelaku industri dan perguruan tinggi sangat dibutuhkan untuk merevitalisasi kawasan sagu yang masih tersisa. Mendorong inovasi teknologi dan konservasi sumberdaya kawasan sagu diharapkan dapat menahan masifnya laju alih fungsi lahan sagu. (*)

  • Bagikan