Jelang Penetapan DCT, Banyak Caleg “Kutu Loncat”

  • Bagikan
--ilustrasi--

PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID, PALOPO-- Sejumlah politikus meninggalkan partai politik yang telah membesarkan namanya dan memilih hengkang ke partai yang baru. Praktik "kutu loncat" ini diperkirakan masih akan terjadi sebelum penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) Pemilihan Legislatif 2024.

Migrasi politikus dari partai ke partai telah menjadi fenomena yang lazim terjadi, khususnya, menjelang pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah. Di daerah ini, sejumlah figur menjelma menjadi "kutu loncat" dengan beragam motif dan alasan.

Salah satunya ada caleg yang ditemui Palopo Pos, yang mengaku memang awalnya sejumlah partai mengajaknya untuk bergabung menjadi caleg DPRD Provinsi. Misalnya Partai Gelora, dan PKB. Belakangan ia juga ditawari masuk caleg Demokrat Sulsel Dapil XI Luwu Raya.

"Insya allah saya di Demokrat dinda. Tidak lagi di partai lain," ucap caleg tersebut di salah satu rumah makan saat acara Silatnas KKLR lalu.

Selain itu, ada juga kader dari partai identik warna kuning. Menjadi kader puluhan tahun, namun semakin dekat DCT memilih hengkang ke partai yang berwarna hijau.

Salah seorang politikus yang pindah partai jelang Pemilu 2024 adalah mantan Wakil Wali Kota Makassar Syamsu Rizal. Deng Ical -sapaan Syamsu Rizal menanggalkan jaket kuning milik Partai Golkar dan memilih mengenakan jas warna hijau kepunyaan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Deng Ical menyatakan memutuskan pindah partai dengan alasan rasional secara politik. Dia mengaku ingin menatap masa depan yang lebih baik di dunia politik.

"Sudah yakin arah politik saya di PKB. Tanggung jawab saya membesarkan PKB supaya mendapat kursi pada Pemilu nanti," ujar Deng Ical, Kamis (6/7/2023).

Deng Ical menyatakan, berjanji akan memberi penambahan jumlah kursi bagi PKB semua tingkatan di daerah ini. Selain itu, Deng Ical juga menimbang untuk mencermati peluang dalam menentukan sikap di pemilihan wali kota Makassar 2024.

Di PKB Sulawesi Selatan, Deng Ical menjabat sebagai Ketua Lembaga Pemenangan Pemilu). Dia juga terdaftar sebagai calon anggota legislatif di DPR RI daerah pemilihan Sulsel Satu.

Deng Ical mengatakan, memilih PKB sebagai "rumah baru" karena program yang akan diperjuangkan sesuai dengan visi misi dari partai. Salah satunya menguatkan pembangunan ekonomi kerakyatan di tingkat desa dan kota agar tercapai kehidupan ekonomi yang adil dan demokratis.

"Saya meyakini hal yang saya rencanakan dalam bentuk program strategis akan mendapat respons positif dari masyarakat. Saya dan seluruh bacaleg DPR RI dari PKB telah mendeskripsikan agenda-agenda atau program yang akan kami tawarkan," tutur Ketua Palang Merah Indonesia Kota Makassar itu.

Satu figur yang turut memutuskan pindah partai adalah legislator Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Selatan, Andi Azizah Irma Wahyudiyati Irwan. Dia mengakui alasan hengkang dari Partai Demokrat ke NasDem semata-mata mengikuti jejak ayahnya yang juga Bupati Pinrang, Andi Irwan Hamid.

"Alasan utama karena bapak saya di situ (NasDem). Masak saya mau berlawanan dengan bapak?" imbuh Irma.

Direktur Eksekutif Parameter Publik Indonesia, Ras Md menyebutkan, fenomena migrasi partai bukan kali ini dan di Sulsel terjadi, tapi berlaku secara nasional. Menurut dia, aneka motif para elite partai memutuskan pindah. Ada karena alasan ketidaknyamanan, beda pandangan politik, dan lain sebagainya.

Menurut dia, secara umum, ada tiga faktor fenomena migrasi partai para elite partai marak terjadi apalagi menjelang pemilu. Pertama, kata Ras, rendahnya party identity yang melekat pada kader. Kondisi ini yang menyebabkan sehingga berpindah partai adalah hal biasa saja.

Ras mengatakan, partai tidak lebih hanya sekadar kendaraan politik, bukan sebagai instrumen perjuangan ideologis untuk menegakkan dan memperjuangkan nilai-nilai politik tertentu.

"Diperburuk lagi dalam pilkada kerap ada praktik mahar partai yang marak terjadi. Label partai hanya sekadar kendaraan politik," ujar Ras.

Faktor kedua, sambung dia, penilaian kader terhadap partai yang tak menguntungkan secara politik. Dia mencontohkan Partai NasDem yang saat ini tak lagi baik dalam pentas politik nasional karena melawan arus rezim.

"Tentu kader-kader yang tak bersih dalam mengelolah pemerintahan, akan bermigrasi ke partai penguasa," ujar dia.

Faktor ketiga, ketidaknyamanan antara pimpinan partai dan kadernya. Menurut Ras, banyak kader partai memutuskan tetap di partai yang sama karena pimpinan atau para petinggi partai berhasil memberi rasa nyaman bagi kader. Faktor-faktor besar penyebab berpindahnya para elite atau kader partai ke partai lain karena mereka menilai jika partai politik hanya sekadar kendaraan politik semata.

"Olehnya itu, sistem rekrutmen kader mesti lebih kuat dan selektif lagi sehingga, fenomena migrasi kader atau elite partai bisa diminimalisasi," imbuh Ras.

Pengamat politik dari Universitas Hasanuddin, Andi Ali Armunanto mengatakan banyak kader pindah partai menjelang pemilu karena proses rekrutmen yang tidak berbasis kaderisasi. "Sehingga tidak terjadi ideologisasi terhadap anggota," ujar dia.

Menurut Andi Ali, relasi antara kader dengan partai sangat pragmatis sehingga ketika partai tidak lagi menguntungkan atau ada partai lain yang memberi tawaran lebih menguntungkan dalam bentuk posisi, maka kader tersebut akan migrasi.

"Iming-iming jabatan hingga patronase politik menjadi salah satu pemicu kader partai akan pindah. Apalagi kalau tidak ada ikatan ideologis antara partai dengan kader," kata dia.

Dia mengatakan, pemilu di Indonesia yang menganut proporsional terbuka cukup menguntungkan bagi parpol untuk merekrut figur potensial dari lintas partai. Apalagi figur tersebut telah dikenal masyarakat luas, sehingga sosialisasi semakin efektif.

Menurut Andi Ali, dalam sistem proporsional terbuka, pemilih lebih dekat dengan sosok elit dibanding partai. Dengan adanya kader yang pindah partai, akan merugikan partai sebelumnya karena berpotensi untuk mengurangi perolehan suara.

Namun perpindahan tersebut juga bisa menjadi ancaman. Ali mencontohkan, kepindahan Ilham Arief Sirajuddin (IAS) dari Demokrat ke Golkar. Menurut dia, secara tidak langsung akan mengancam posisi peluang Ketua Golkar Sulsel Taufan Pawe untuk maju sebagai calon gubernur Sulsel 2024.

Tapi, Ali mengatakan, semakin tinggi intensitas persaingan internal partai otomatis akan mendongkrak perolehan suara di Pileg. Sebab, setiap figur memiliki keinginan untuk terpilih dan masing-masing bekerja meraup suara.(idris prasetiawan)

  • Bagikan